TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya kasus yang menimpa seorang perawat di Puskesmas Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, karena memberikan obat keras kepada masyarakat yang membutuhkan, dinilai semakin menunjukkan kelemahan sistem hukum di Indonesia. Kasus hukum yang menjerat Misran, perawat di Kutai Kartanegara, terjadi akibat belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Kefarmasian.
Lemahnya sistem hukum akibatnya muncul kasus Misran-Misran seperti ini. Karena itu butuh PP untuk penyelenggaraan aturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, ujar Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, saat sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (6/5/2010).
Apabila dilihat secara seksama, kata Akil, aturan pemerintah tersebut yang berlaku untuk sandaran Undang-Undang Kesehatan tidak berlaku lagi, karena merujuk pada undang-undang yang lama tahun 2003. Sedangkan UU Kesehatan baru berlaku tanggal 13 Oktober 2009.
Kasus Misran berawal, ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009.
Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) ,Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Misran tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa pekan lalu. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pasal 108 dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan justru memberikan perlindungan bagi masyarakat atas pemberian obat dari pihak yang berwenang.
"Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat agar pemberian dan pendistribusian obat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukannya," ujar Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Sri Indrawati, saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (6/5).
Menurut Sri, pasal 108 ayat 1 UU 36/2009 tentang Kesehatan bermaksud mempertimbangkan secara hati-hati terhadap berbagai bahaya yang dapat timbul akibat pemberian obat yang tidak sesuai dengan kewenangan dokter.
Oleh karena itu, lanjut Sri, pihak pemberi obat harus diatur secara tegas agar tidak terjadi penyalahgunaan obat yang membahayakan pasien. Apabila obat diberikan oleh orang yang tidak memiliki keahlian maka akan terjadi bahaya seperti resistensi obat, kecacatan permanen, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Sehingga, pengawasan menjadi tidak terjamin.
"Karenanya, kami memohon kepada MK agar dapat memberikan putusan sebagai berikut, yaitu menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan, dan menyatakan pasal aquo tidak bertentangan dengan UUD 1945," jelasnya.
Sebelumnya, Seorang perawat mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Misran, merupakan perawat yang telah bekerja selama 20 tahun di wilayah Kutai dan pernah merasakan bui yang didakwa dengan alasan tanpa memiliki keahlian dan kewenangannya memberikan obat kepada pasien.
"Saya didakwa tanpa keahlian dan kewenangan. Konkritnya 17 tahun kami sebagai pimpinan puskesmas pembantu dan perawat semua," kata Misran beberapa waktu lalu.
Pasalnya, Misran pernah memberikan kepada pasiennya obat yang terdaftar G (Gevaarlijk/berbahaya). Hal tersebut, merupakan pelanggaran karena jenis obat berlabel G adalah kewenangan seorang dokter untuk memberikan terhadap pasiennya.
"Padahal dalam situasi darurat dan proses rujukan tidak bisa dilaksanakan karena terkendala faktor kondisi geografis, wilayah, tenaga, biaya, jarak dan ketersediaan sarana transportasi," tambahnya.
Padahal, kata dia, wilayah Kutai, tidak ada seorang pun dokter yang ada hanya para perawat atau yang bekerja di Puskesmas. Karena itu, Misran merasa, UU tersebut terutama dalam pasal 108 ayat (1) beserta penjelasannya telah bertentangan dengan UUD 1945.
"UU tersebut tidak saja merugikan hak konstitusional tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional seluruh tenaga keperawatan yang bertugas di daerah terpencil, yang tidak ada dokter, tidak ada apotek, dan tenaga apoteker," ungkapnya. Pemohon juga meminta, agar MK mengabulkan permohonan pemohon.